Penerbit : RESIST BOOK
Genre :
Politik, Sosiologi, Filsafat
Pertama Terbit :
1996
Bahasa : Indonesia
Ikhtisar Buku In the Name of Identity oleh Amin Maalouf
“Buku
kontroversial... dalam mengeksplorasi mengapa orang saling membunuh atas nama
identitas agama, etnis, atau ras.” Times / Post-Intelligencer
“Suara waras
yang langka di tengah pertikaian mematikan”. New York Times Riview of
Books
“Sebuah titik
berangkat yang provokatif...” Todd gitlin, Los Angeles Times
“Pasca 11
September kita ingin tahu lebih banyak fakta, kita butuh analisa politik, tapi
kita juga lapar renungan umum tentang seperti apakah makhluk manusia itu. In
The Name of Identity menjembatani masalah ini...” Jonathan Lear, New
York Times Book Review
“Memukau...pasti menyulut debat.”
Hazel Rochman, Booklist
“Suara yang
tidak bisa diabaikan.” The Guardian
“memetik
hikmah dari buku ini perlu pikiran yang terbuka.” Joanne McEwan, IslamOnline.net
Ulasan atas Buku In the Name of Identity oleh Amin Maalouf
Menyelami Identitas, Toleransi, dan Tantangan Modernitas
Buku ini
adalah karya-refleksi yang mendalam yang mengungkapkan akar konflik dan
tantangan identitas dalam sejarah manusia. Melalui tulisan yang penuh wawasan,
Maalouf menantang pembaca untuk memahami identitas sebagai sesuatu yang dinamis
dan plural, alih-alih memandangnya sebagai atribut tunggal dan tetap. Buku ini
menyentuh berbagai tema, termasuk konflik antar umat beragama, dinamika sejarah
antara kekaisaran Muslim dan Kristen, tantangan dunia Muslim dalam beradaptasi
dengan modernitas, serta pentingnya demokrasi dalam mewadahi keberagaman
identitas.
Identitas: Mozaik yang Relatif
Maalouf
mendekati identitas sebagai konsep yang kompleks dan berlapis, di mana setiap
individu membawa campuran pengalaman, budaya, agama, bahasa, dan sejarah. Ia
dengan tegas menolak pandangan identitas tunggal, yang menurutnya sering
menjadi penyebab konflik antar individu dan kelompok. Dalam buku ini, ia
menulis, “Identitas seseorang bukan seperti pakaian yang bisa diganti; ia
adalah seluruh pengalaman dan nilai yang saling bersinggungan.”
Konsep ini
sangat relevan di era modern, di mana globalisasi menciptakan pertemuan lintas
budaya yang intens. Sayangnya, dinamika ini sering kali menciptakan benturan
identitas karena banyak kelompok merasa terancam oleh homogenisasi budaya yang
dibawa oleh arus global. Menurut Maalouf, memahami identitas sebagai sesuatu
yang fleksibel adalah kunci untuk menciptakan harmoni dan meminimalisir konflik.
Konflik Antar umat Beragama: Sebuah Refleksi Sejarah
Sejarah
manusia sarat dengan konflik berbasis identitas keagamaan, mulai dari Perang
Salib hingga konflik Timur Tengah modern. Maalouf berpendapat bahwa
konflik-konflik ini sering kali lebih bersifat politis daripada religius. Agama
digunakan sebagai pembenaran untuk memobilisasi massa dan melegitimasi dominasi
kekuasaan.
Namun, di
balik konflik ini, Maalouf juga mencatat bahwa agama sejatinya mengajarkan
cinta kasih dan perdamaian. Manipulasi agama untuk tujuan politik bukan hanya
mengkhianati nilai-nilai inti agama itu sendiri, tetapi juga mengakar dalam
ketidakpahaman terhadap pluralitas identitas yang melekat pada manusia.
Negeri Muslim Sulit Beradaptasi dengan Modernitas
Maalouf secara
kritis memaparkan beberapa alasan utama mengapa negeri-negeri Muslim mengalami
kesulitan dalam menerima nilai-nilai modern seperti globalisasi, demokrasi,
kesetaraan gender, dan toleransi. Di antaranya adalah trauma sejarah yang
diwariskan oleh kolonialisme Barat, kurangnya reformasi pendidikan, serta
ketakutan terhadap hilangnya identitas budaya.
Maalouf berpendapat bahwa negeri Muslim cenderung melihat globalisasi sebagai ancaman, alih-alih kesempatan, yang pada akhirnya memperburuk keterasingan mereka dari kemajuan dunia. Ia menulis,
“Pada penjelang akhir abad ke 18-lah orang Mesir yang tinggal di sekitar laut tengah mereka sedang ter-marjinalkan. Ada jurang yang kian menganga antara mereka dengan Barat. Tak pernah menetapkan tanggal sesuatu yang sesamar kesadaran, tapi secara umum diakui setelah aksi Napoleon di Mesir tahun 1799-lah sejumlah orang, baik pujangga maupun politisi, mulai melontarkan pertanyaan-pertanyaan macam: mengapa kita jadi begitu tertinggal? Mengapa barat begitu maju? Bagaimana mereka melakukannya? Apa yang mesti kita perbuat untuk mengejarnya?”Hal. 77-78
Ini merupakan
dinamika historis dan refleksi kebudayaan pada akhir abad ke-18 di Mesir,
khususnya di kawasan sekitar Laut Tengah. Amin Maalouf mengeksplorasi bagaimana
identitas, baik secara individu maupun kolektif, sering kali terbentuk dalam
kondisi tekanan sejarah, konflik, dan perubahan besar. Periode setelah aksi
Napoleon di Mesir pada 1799 merupakan momen penting yang memicu krisis
kesadaran dan identitas di dunia Arab. Napoleon tidak hanya membawa tentara,
tetapi juga ilmu pengetahuan dan teknologi dari Eropa, serta memperlihatkan
jurang yang mencolok antara pencapaian Barat dan kondisi di wilayah tersebut.
Hal ini melahirkan serangkaian pertanyaan introspektif yang tercermin dalam
pemikiran para intelektual dan politisi lokal.
Menurut
Maalouf, situasi seperti ini sering kali mengarah pada ketegangan antara
identitas tradisional dan kebutuhan untuk berubah demi bertahan di dunia
modern. Mesir, yang sebelumnya memiliki peradaban besar dengan kontribusi
signifikan terhadap sejarah manusia, merasa berada dalam posisi terjepit.
Kemajuan sains, teknologi, dan politik yang cepat di Eropa menciptakan rasa
keterasingan dan marjinalisasi bagi masyarakat Mesir. Identitas mereka, yang
sebelumnya begitu kokoh dan bangga, mulai diguncang oleh tantangan untuk
memahami apa yang salah dalam perjalanan sejarah mereka sendiri.
Momen ini juga
membangkitkan kesadaran baru bagi dunia Arab akan pentingnya pendidikan, ilmu
pengetahuan, dan revitalisasi institusi budaya mereka sendiri. Proyek
modernisasi yang dipicu oleh pertanyaan-pertanyaan fundamental di atas terus
bergema hingga era kontemporer, dengan tetap membawa pengaruh debat yang sama:
Bagaimana dunia Arab harus menyikapi "keunggulan" Barat tanpa
kehilangan diri mereka sendiri?
Ini adalah
tantangan universal yang dihadapi oleh komunitas mana pun yang mencoba
menemukan tempatnya di antara tradisi lokal dan globalisasi modern. Dengan
pendekatan historis dan reflektif, Maalouf mengajak dunia Muslim untuk
menemukan keseimbangan antara tradisi dan inovasi, sebagai kunci untuk
menghadapi tantangan modernitas tanpa mengorbankan jati diri budaya mereka.
Stereotip tentang Intoleransi Agama
Banyak orang di dunia modern percaya bahwa umat Kristen lebih toleran
dibandingkan umat Islam, yang sering kali dianggap barbar dan intoleran,
terutama akibat stereotip yang diperkuat oleh media dan peristiwa politik
tertentu. Amin Maalouf membantah pandangan semacam itu, dengan menunjukkan
bahwa intoleransi bukanlah karakteristik yang inheren pada agama tertentu,
melainkan lebih merupakan hasil dari cara agama diperalat untuk mencapai
kepentingan kekuasaan.
Dalam bukunya, Maalouf menyoroti berbagai contoh sejarah untuk
mengilustrasikan bahwa kekerasan dan intoleransi terjadi dalam semua komunitas
keagamaan pada masa-masa tertentu. Ia mengingatkan bahwa Kekristenan di Eropa
pada Abad Pertengahan dikenal dengan intoleransinya yang ekstrem, termasuk
pembakaran penyihir, persekusi terhadap kaum Yahudi, dan inkuisisi brutal yang
bertujuan untuk mempertahankan kemurnian keyakinan. Perang Salib, yang sering
dijustifikasi sebagai "perjuangan suci," sebenarnya dipenuhi
kekejaman dan genosida terhadap non-Kristen, termasuk umat Islam dan Yahudi.
Sebaliknya, pada periode yang sama, dunia Islam menunjukkan toleransi yang
lebih besar. Di bawah Dinasti Abbasiyah atau di Andalusia, umat Islam
mengakomodasi keberagaman agama dalam struktur sosial mereka. Komunitas Yahudi
dan Kristen hidup berdampingan dan bahkan sering memainkan peran penting dalam
pemerintahan, ilmu pengetahuan, dan seni. Contoh seperti Ziryab, seorang
cendekiawan non-Muslim yang diterima di istana Muslim Andalusia, menunjukkan
bahwa toleransi di dunia Islam dijalankan di masa lalu.
Maalouf menegaskan bahwa intoleransi atau toleransi bukanlah hasil dari
dogma agama itu sendiri, tetapi refleksi dari kondisi sosial, ekonomi, dan
politik yang melingkupinya. Misalnya, kolonialisme Eropa dan supremasi rasial
yang menyertainya tidak hanya memperkuat intoleransi berbasis agama, tetapi
juga menciptakan warisan trauma di dunia Muslim, yang hari ini sering
dipolitisasi untuk meradikalisasi kelompok tertentu. Maalouf menyatakan bahwa
agama—baik Islam maupun Kristen—menjadi "topeng" yang dikenakan untuk
membenarkan kekerasan, padahal inti nilai-nilainya adalah cinta, kedamaian, dan
kemanusiaan.
Sebagai kritik, Maalouf mengingatkan bahwa umat manusia harus menahan diri
dari membuat generalisasi sempit berdasarkan perilaku kelompok tertentu. Ia
menyebut bahwa banyak yang memandang perilaku minoritas radikal dalam komunitas
Islam sebagai cerminan dari keseluruhan agama tersebut, sementara melupakan
fakta bahwa Kekristenan dalam sejarah memiliki masa kelamnya sendiri. Baginya,
kebijakan opresif tidak merepresentasikan agama, melainkan cara penguasa
memanfaatkan agama untuk mengontrol masyarakat.
Pernyataan Maalouf ini sejalan dengan usahanya untuk mendekonstruksi mitos
tentang keunggulan moral atau toleransi satu kelompok agama atas kelompok
lainnya. Dengan meneliti sejarah secara mendalam, ia membuka mata pembaca bahwa
dunia yang harmonis hanya dapat tercipta jika manusia berhenti mengidentikkan
intoleransi dengan agama tertentu dan mulai memahami kompleksitas hubungan
antara agama, kekuasaan, dan budaya. Dalam pandangan Maalouf, masalahnya bukan
terletak pada doktrin agama, tetapi pada siapa yang memegang kendali
interpretasinya.
Dalam buku
ini, ia mengingatkan bahwa kekerasan dan intoleransi dapat ditemukan dalam
semua komunitas keagamaan pada masa-masa tertentu dalam sejarah, termasuk
Kekristenan. Genosida Yahudi di era Nazi Jerman dan kebijakan rasis dalam
kolonialisme Barat adalah bukti nyata bahwa kejahatan berbasis intoleransi
melampaui batas agama dan budaya.
Demokrasi sebagai Wadah bagi Plural-nya Identitas
Di tengah
kompleksitas identitas manusia, Maalouf memuji demokrasi sebagai sistem yang
dapat mewadahi keberagaman tanpa menghilangkan hak-hak individu. Demokrasi,
melalui prinsip-prinsip hak pilih universal, kesetaraan, dan perlindungan
minoritas, menciptakan ruang bagi masyarakat dengan identitas yang berbeda-beda
untuk hidup berdampingan.
Namun, Maalouf juga mengingatkan risiko demokrasi yang menyimpang. Ia mengutip contoh era Nazi Jerman, di mana demokrasi digunakan sebagai alat untuk melegitimasi penindasan dan genosida. Menurut Maalouf,
“Yang suci dalam demokrasi bukanlah mekanismenya, melainkan nilai-nilainya/ yang harus dihargai -secara mutlak dan tanpa konsesi-adalah martabat umat manusia: seluruh manusia, lelaki, perempuan, anak-anak, apa pun kepercayaan atau warna mereka, dan apakah mereka banyak atau sedikit. Sistem pemberian suara harus memperhitungkan semua persyaratan ini.”Hal. 154-155.
Buku ini adalah
seruan intelektual untuk merefleksikan hubungan antara identitas, konflik, dan
masa depan dunia. Melalui analisis sejarah dan budaya, Amin Maalouf menyajikan
wawasan mendalam tentang bagaimana identitas dapat menjadi sumber harmoni
alih-alih perpecahan.
Maalouf menjelaskan bahwa toleransi, pluralitas, dan penghormatan terhadap identitas yang beragam bukanlah konsep utopis, tetapi merupakan kebutuhan mendesak bagi dunia yang semakin global. Ia mengajak setiap individu untuk meruntuhkan dinding sempit identitas tunggal dan melihat dirinya sebagai bagian dari mozaik besar umat manusia. Dengan memahami dan mempraktikkan gagasan ini, kita dapat membangun masa depan yang lebih inklusif dan damai.
“jujur saja, bila kita menekankan perbedaan kita dengan begitu keras, hal itu justru karena kita tambah lama tambah kurang berbeda antara satu dengan yang lain. Sebab setelah terlepas dari pertikaian dan permusuhan bebuyutan kita, tiap hari kita selalu mengurangi perbedaan dan menambah kesamaan kita sedikit demi sedikit.”Hal. 105.
Posting Komentar untuk "In the Name of Identity oleh Amin Maalouf"