Pada masa itu, langgar milik Bu Halimah adalah ruang publik paling nyaman untuk kami. Halamannya luas, bisa untuk bermain gobak sodor atau jumpritan. Di depan langgar terdapat pohon jambu air, kalau sudah musim, kami selalu diberi kebebasan untuk memetiknya.
Meski akan banyak semut yang menempel pada buah jambu air, kami tidak pernah menyerah untuk memetinya. Kami siap menanggung serangan semut itu, sebab waktu itu, hanya di sanalah pohon jambu air di lingkungan kami ada.
foto : Ig @ |
Selain itu hanya ada jenis jambu biji. Di depan rumahku ada satu, di rumah malik juga. Tapi kalau soal jambu air, yang buahnya segar, juga bisa dibuat rujak, satu-satunya pohon yang kami tahu hanya ada di situ, di depan Langgar bu Halimah. Buahnya begitu lebat saat musimnya tiba. Serasa tak akan pernah habis walau tiap hari kami memetiknya. Selalu ada yang tampak segar dan matang, menggoda untuk dipetik, bahkan saat malam ketika waktunya kami harus ngaji di Langgar.
Kami tak pernah memanjat pohon saat malam. Bukan karena
takut dikerubungi semut, melainkan dengan genderuwo. Orang bilang ada genderuwo
di pohon itu, jadi kami hanya menanti buah yang jatuh saat setelah kentongan
untuk adzan magrib dibunyikan. Saat buah yang jatuh hanya sedikit, kami harus
berebutan dengan untuk mendapatkannya.
Ada juga yang bilang, kalau buah di pohon itu begitu lebat
saat musimnya tiba, karena berkah dari orang yang mau terus mengaji dan
berjamaah di sana. Saat Malik bertanya seperti itu ke bu Halimah, beliau
tersenyum. “Ya kamu ngaji terus di sini, biar buahnya bisa subur”, begitu
beliau menjawabnya.
Waktu magrib sampai isya adalah saat di mana kami harus
mengaji di sana. Aku dan teman-teman biasanya berangkat setengah jam sebelum
magrib. Bukan hanya untuk pohon jambu air itu, tapi juga untuk bermain sembari
menunggu waktu magrib tiba. Walaupun sore hari kami juga harus pergi ke
TPQ(taman pendidikan qur’an), tapi kami tidak keberatan untuk berangkat lagi
mengaji dari magrib sampai isya. Semua itu karena pohon jambu itu, dan juga
tempat bermain yang teduh.
Sehabis mengaji, biasanya bu Halimah memberikan cerita.
Kebanyakan cerita soal mukjizat para nabi. Mulai dari kisah penciptaan nabi
adam, kisah pengorbanan nabi Ibrahim, kisah ketampanan nabi Yusuf, sampai pada
kisah-kisah tentang nabi Muhammad. Namun pada suatu malam, entah karena kisah
nabi-nabi sudah habis, atau karena kisah itu yang dipikirkan beliau. Sebuah
kisah tentang seorang sufi bernama Robiah Adawiyah.
“Sufi itu apa bu?” Dila bertanya kepada bu Halimah.
“Sufi itu orang yang sangat dekat dengan Allah”. Begitu beliau menjawabnya. Begitu juga makna yang sampai tetap melekat di pikiranku. "Nah, jadi begini ceritanya".
“Robiah Adawiyah adalah orang
yang dalam hidupnya hanya ingin selalu dekat dengan Allah. Walau hidupnya berat
dan penuh dengan penderitaan, dia tidak pernah menyerah untuk selalu
mendekatkan diri pada Allah. Dia pernah hidup sebagai budak, tapi itu tak membuatnya
putus asa untuk terus beribadah kepada Allah. Hingga akhirnya dia dimerdekakan
oleh majikannya, sebab di satu malam sang majikan melihat cahaya menyinarinya
saat dia tengah bermunajat”.
Belakangan aku tahu, kalau di zaman perbudakan, wanita boleh
hak majikannya dalam hubungan badan.
Kami selalu memperhatikan saat beliau bercerita. Bukan
karena kami mengerti dengan apa yang diceritakan. Tapi karena beliau selalu
menyenangkan dalam melakukan itu. Tidak sama seperti saat beliau mendengarkan
bacaan kami yang kadang membuatku hampir menangis karena terlalu banyak yang
salah.
Cerita menariknya adalah,
...saat Robiah
Adawiyah sudah masyhur sebagai orang yang dekat dengan Allah, ada dua orang
musafir yang datang ke tempatnya. Waktu itu hanya ada dua potong roti sana, dan
dia sendiri belum makan. Namun dia tanpa ragu langsung mengambil roti itu dan memberikan
kepada dua orang tamunya.
Setelah tamunya selesai menyantap
roti itu, tiba-tiba tetangganya datang sembari membawakan nampan berisi banyak
roti. Robiah Adawiyah tidak langsung mengambilnya. Dia hitung roti itu yang
ternyata berjumlah delapan belas potong. “Roti ini bukan untukku”, begitu dia
bilang pada tamunya untuk menolak pemberian itu.
“Oh, tidak, roti ini untuk engkau
wahai saudaraku”. Tetangganya mencoba meyakinkan.
“Tidak, roti ini bukan untukku.
Bawalah pulang kembali roti ini”. Sambil kecewa tetangganya kembali membawa
delapan belas potong rotinya pulang.
Tapi tidak lama kemudian,
tetangganya kembali lagi sambil menambahkan dua potong roti lagi pada
nampannya. “Ini Roti untukmu!”
Robiah Adawiyah menghitung rotinya dan
kemudian dia mengiyakan. “Ya, terimakasih sudah membawakan roti ini untukku”.
Dua tamu tadi tampak keheranan
dengan apa yang dilihatnya. Saat tetangganya tadi sudah pergi, salah satu dari
mereka bertanya. “Wahai kekasih Allah. Kenapa engkau menolak ketika roti yang
pertama dan menerima yang kedua setelah menghitungnya?”
“Aku memberikan dua potong rotiku
pada Anda berdua, dan aku yakin Allah akan menggantinya dengan dua puluh kali
lipat. Ketika kedatangannya yang pertama, tetanggaku hanya membawa delapan
belas roti, jadi aku yakin roti itu bukan untukku. Sedang kedua kalinya,
jumlahnya genap dua puluh potong roti. Maka aku berterimakasih sebab dia sudah
membawakan pemberian Allah untukku”.
Kedua tamu itu menjadi begitu
kagum dengan kedekatan Robiah Adawiyah pada Allah.
“Nah, jadi kalau kita mau memberi, maka Allah akan
menggantinya dengan dua puluh kali lipat, bahkan lebih. Kita harus selalu ingat
bahwa Allah maha menghitung”.
“Jadi kalau kita memberi, Allah pasti langsung menggantinya
dua puluh kali lipat bu?” Aku bertanya penasaran.
Sebelum menjawabnya, beliau cukup lama untuk melebarkan
bibirnya.
“Rabiah Adawiyah tahu benar kedekatannya dengan Allah, jadi
dia tahu bahwa Allah akan membalasnya saat itu juga. Sedang kita tidak sedekat
dia dengan Allah, maka kita tidak bisa tahu kapan Allah akan membalas kebaikan
kita.”
“Jadi kita tidak bisa langsung dibalas dua puluh kali lipat
seperti Robiah Adawiyah bu?” Kata Malik yang duduk di sampingku. Setelah
melihat jam dinding di dekat imamah, yang sudah menunjukkan waktu isya, beliau
pun menjawab sambil memandang kami semua.
“Tapi Allah tidak akan pernah ingkar janji untuk membalas
semua kebaikan kita, sekecil apa pun itu”. Terasa sekali bu Halimah menegaskan
kalimat ini.
Suami bu Halimah, pak Arifin, sudah datang, menunjukkan
waktunya untuk adzan Isya. Aku berebut micropon dengan malik, Sigit untuk
melantunkan adzan. Pada akhirnya kami hompimpa untuk mencari sapa yang
menang, dan akulah pemenangnya.
Seingatku, itulah satu-satunya dongeng dari bu Halimah yang
bukan tentang kisah nabi.
Lama selali aku tak bertemu dengannya. Semoga beliau selalu sehat dan bahagia.
Cerita ini disadur dari cerita tokoh Sufi bernama Robi'ah Al-Adawiyah
04 Desember 2024
Posting Komentar untuk "Sebuah Dongeng dari Langgar Bu Halimah"