Dalam pengertian saya yang awam ini, beliau bisa
diasosiasikan dengan sosok KH khamim Jazuli atau biasa dipanggil Gus Miek,
yang menurut cerita di kampung saya, dulu juga sering berdakwah di tempat
hiburan malam, tempat judi dan lain-lain. Dalam banyak ucapannya yang tersebar
di media sosial, beliau sangat santai berbicara dengan bahas anak muda, atau
bahkan kasar khas cara bicara orang abangan jikalau ditilik dalam pengelompokan
Clifford Geertz. Semua itu tampak mendekatkan beliau dengan kaum muda, yang
mungkin bahkan tidak dekat dengan kultur pesantren.
Saya senang dengan cara komunikasi beliau. Kalau boleh saya
bilang, Gus Miftah adalah salah satu sosok orang menengah muslim yang menjadi
penyambung antara golongan atas dan golongan Awam. Gus Miftah tidak hanya dekat
dengan orang-orang awam, tapi juga para kiai dan gus-gus yang menempati tokoh
masyarakat muslim. Tanpa sosok kelas menengah muslim seperti itu, maka akan
mudah terjadi pertentangan antara yang golongan ulama dengan kelompok yang
awam.
Dalam media sosial juga banyak terekam kalau beliau adalah
sosok yang pemurah. Tidak sungkan memberikan uang kepada orang yang bertanya.
Malah kadang memberikan uang kepada semua jamaah yang hadir dalam pengajiannya.
Model pengajian dengan memberikan hadiah uang ini adalah fenomena baru.
Sepuluh tahun yang lalu, saat KH. Anwar Zahid begitu populer
di kalangan masyarakat desa, hampir tidak terlihat pengajian yang memberikan
uang tunai kepada jamaah. Bahkan model jamaah yang bertanya kepada kiai di
panggung pun jarang ditemui di kalangan pengajian desa, terutama masyarakat NU.
Kemurahan hati Gus Miftah saya maknai sebagai orang yang dekat dan bisa
mengerti kebutuhan rakyat, bukan hanya kebutuhan secara rohani, atau kebutuhan
hiburan, tapi juga kebutuhan materi.
Fenomena yang viral kemarin, berkenaan dengan omongan
beliau dengan bapak tukang es yang meminta memborong dagangannya, seharusnya
dimaknai sebagai gaya bahasa yang lumrah di kalangan masyarakat awam. Tidak
perlu menuntut gaya komunikasi yang lebih halus. Bukankah aneh menuntut orang
untuk tidak menjadi diri mereka sendiri.
Entah kenapa tidak ada yang melihat sisi negatif pada bapak
penjual es teh itu, yang maju dan meminta dagangannya diborong. Seolah dia
tampak enggan menjajakan dagangannya berkeliling. Adakah ini pola pikir yang
tidak adil?
Atau mungkin sebenarnya persoalan mendasarnya bukan itu.
Persoalan mendasarnya adalah, model yang suka memberi itu, yang dalam konteks
pemerintahan disebut Bantuan Sosial, membentuk masyarakat yang tidak sungkan
untuk langsung meminta.
Saya ingat sekali apa yang dikatakan Ustad Anis Matta dalam
sebuah wawancara,
Negara ini membutuhkan narasi untuk menjadi besar, Narasi akan melahirkan pengikut, sedangkan sembako akan melahirkan pengemis. Ungkapan
itu menampakkan perwujudannya saat ini.
Adakah kita tidak belajar ini dalam konteks Nabi Muhammad. Beliau
datang dengan membawa narasi berupa Al-Qur’an, dan membangun gagasan yang
menjadikan masyarakat Madinah. Keadilan sosial dan pembagian bantuan sosial
adalah tindaklanjut dari gagasan yang beliau bangun. Tapi saat sebuah
pemerintahan, yang ujung tombaknya dimulai dengan pengerahan bansos
besar-besaran, bukankah fenomena ini adalah akibatnya?
Seharusnya, yang membuat perasaan kita terbakar bukan hanya cara bicara Gus
Miftah dengan bapak si bapak penjual es itu, tapi model ‘pemerintahan bantuan
sosial’ yang pada akhirnya melahirkan masyarakat yang tidak sungkan "mengemis" pada pejabat. Bantuan sosial pada yang membutuhkan adalah hak, tapi
menghinakan posisi masyarakat adalah kedzaliman.
Tidakkah orang-orang itu cukup pintar untuk memberdayakan masyarakat, juga punya banyak staf ahli untuk merumuskan kebijakan, atau sebenarnya dari kemarin bansos merupakan bagian dari strategi kemenangan? Semoga kita tidak salah menilai.
Posting Komentar untuk "Gus Miftah dan Pemerintahan ala Bantuan Sosial"