Penerbit : Pustaka Utama Grafiti
Genre :
Agama, Sosiologi, Antropologi,
Pertama Terbit :
1988
Bahasa :
Indonesia
Ulasan Buku Slilit Sang Kiai karya Emha Ainun Najib
Slilit Sang Kiai adalah salah satu karya fenomenal
Emha Ainun Nadjib, atau yang akrab disapa Cak Nun. Buku ini merupakan kumpulan
esai yang menggambarkan keresahan, kritik, dan renungan mendalam Cak Nun
tentang berbagai aspek kehidupan, termasuk agama, budaya, politik, dan dinamika
sosial di Indonesia. Ditulis dengan gaya yang khas—kritis, jenaka, tetapi penuh
hikmah—karya ini tidak hanya menghibur, tetapi juga menggugah kesadaran
pembacanya untuk lebih peka terhadap realitas yang terjadi di sekeliling.
Pada esai pertamanya, buku ini memuat cerita yang merujuk
pada sosok seorang kiai yang mendadak di panggil oleh Tuhan. Meski sudah hampir
mencapai surga, ada hal yang mengganjal hatinya, sebuah "slilit" yang
membuatnya tak bisa tenang. Slilit ini ternyata menjadi masalah besar secara
agama, meski secara sosial ia tampak sebagai tindakan yang sepele: mengambil
potongan kayu pagar milik tetangganya.
Para santri sang kiai mengetahui masalah ini lewat mimpi. Mereka
kemudian merefleksikan persoalan ini pada pencurian gelondongan kayu di pulau Kalimantan.
Masalah ilegal loging yang diprakarsai oleh para bandit kelas besar di tahun
1980-an. Sebuah kisah sederhana, tapi mengandung muatan sosial-politik yang cukup
kuat di dalamnya. Inilah kekuatan dari esai yang dibawa Cak Nun.
Dari berbagai esai dalam buku ini, salah satu yang paling
relevan dengan kondisi saat ini adalah esai yang menyoroti bagaimana agama
sering kali disalahgunakan sebagai alat politik dan pembenaran moral. Esai ini
menggambarkan bagaimana agama, yang seharusnya menjadi panduan moral dan
spiritual, sering kali terdistorsi oleh kepentingan pragmatis, baik oleh
individu maupun institusi.
Kritik terhadap Relasi Agama dan Politik
Dalam salah satu tulisannya, Cak Nun menggunakan metafora
"slilit" untuk menggambarkan sesuatu yang kecil tetapi dapat
mengganggu dan menyakitkan jika tidak segera diatasi. "Slilit" ini
merujuk pada masalah kecil tetapi signifikan yang sering kali muncul dalam
relasi antara agama dan kekuasaan. Ia mengkritik bagaimana tokoh agama atau
institusi keagamaan terkadang terjebak dalam kompromi politik, sehingga
nilai-nilai agama kehilangan esensinya.
Cak Nun mengingatkan bahwa agama sejatinya adalah jalan
pencerahan, pengabdian, dan kasih sayang. Namun, ketika agama dipolitisasi, ia
kehilangan daya spiritualnya dan berubah menjadi alat untuk kepentingan
duniawi. Kritik ini relevan di masa kini, ketika wacana agama sering digunakan
untuk membentuk opini publik atau memobilisasi massa dalam kontestasi politik.
Dalam konteks Indonesia saat ini, kritik ini menjadi sangat aktual. Polarisasi yang berakar pada isu agama sering kali mewarnai pemilu, kebijakan publik, hingga interaksi sosial di masyarakat. Cak Nun menekankan bahwa keberagaman agama seharusnya menjadi kekayaan yang mempererat kebersamaan, bukan alat untuk memecah belah atau memonopoli kebenaran.
Keberagamaan yang Otentik
Cak Nun tidak hanya berhenti pada kritik, tetapi juga
menawarkan solusi berupa refleksi mendalam tentang makna keberagamaan yang
otentik. Ia mengajak pembaca untuk kembali kepada esensi agama sebagai jalan
cinta kasih dan pencarian makna hidup. Menurutnya, agama bukan hanya soal
ritual, tetapi juga komitmen untuk memperbaiki diri dan membawa manfaat bagi
sesama.
Dalam dunia yang semakin kompleks ini, banyak orang
kehilangan arah karena terjebak dalam simbol-simbol agama tanpa memahami
esensinya. Cak Nun menyarankan agar umat beragama tidak hanya berfokus pada apa
yang tampak di permukaan, tetapi juga menggali inti dari ajaran agama, yakni
kedamaian, keadilan, dan kasih sayang.
Humor dan Kearifan
Cak Nun memiliki keunikan dalam menyampaikan kritiknya.
Alih-alih menyampaikan kritik secara frontal, ia menggunakan humor, analogi,
dan kearifan lokal yang membuat pesan-pesannya terasa lebih ringan tetapi tetap
tajam. Gaya ini membuat pembaca tidak merasa dihakimi, tetapi justru terdorong
untuk merenung dan introspeksi.
Dalam esai-esainya, Cak Nun sering kali mengangkat
cerita-cerita dari kehidupan sehari-hari untuk menjelaskan isu-isu besar. Ia
menggunakan analogi seperti "slilit" untuk membuat pembaca lebih
mudah memahami masalah yang rumit. Pendekatan ini relevan dengan masyarakat
modern yang cenderung lebih responsif terhadap cerita personal dan humor
dibandingkan argumentasi serius yang kaku.
Agama dan Isu Sosial
Ketika membaca Slilit Sang Kiai dalam konteks hari
ini, kita dihadapkan pada realitas di mana agama terus menjadi isu sentral
dalam diskursus publik. Polarisasi sosial yang sering kali didasarkan pada
interpretasi agama tertentu menunjukkan betapa pentingnya memahami kembali
pesan-pesan dalam buku ini.
Cak Nun mengingatkan bahwa agama tidak boleh menjadi alat
untuk saling menghancurkan, tetapi harus menjadi jalan untuk membangun keadilan
dan kemanusiaan. Dalam dunia yang terhubung secara digital, di mana informasi
bisa dengan mudah dimanipulasi, pesan ini menjadi relevan untuk melawan narasi
kebencian yang sering menyamar sebagai moralitas agama.
Dengan kepekaan sosial dan spiritual yang mendalam, Cak Nun
menawarkan kritik tajam terhadap penyalahgunaan agama, tetapi juga memberikan
harapan melalui ajakan untuk kembali kepada nilai-nilai luhur agama. Buku ini
bukan hanya menjadi refleksi tentang dinamika agama dan kekuasaan, tetapi juga
menjadi pengingat bahwa keberagamaan sejati terletak pada tindakan nyata untuk
menciptakan kedamaian dan keadilan, bukan hanya dalam ranah pribadi, tetapi
juga dalam kehidupan sosial.
Posting Komentar untuk "Slilit Sang Kiai karya Emha Ainun Nadjib"