Kategori : Biografi, Sejarah Indonesia
Pertama Terbit : 2014
Bahasa : Indonesia
Ikhtisar buku : Takdir; Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855) Oleh Peter Carey
Otobiografi Babad Diponegoro sebagai monumen kearifan budaya
dunia yang indah nyaris remuk Universitas Indonesia. dimakan rayap dan lenyap
oleh buta-sejarah bangsanya. Namun, totalitas keilmuan Peter Carey telah
membangkitkannya menjadi historiografi yang melampaui takdirnya. Kelana rohani
Diponegoro mengatasi pelintasan arus perbedaan antara dunia lama dan dunia
baru. Gerakan perlawanan Diponegoro pantas terbilang sebagai kompas
kepemimpinan dan kejuangan bangsa. P.M. Laksono
Pangeran Diponegoro merupakan salah seorang tokoh Indonesia
terbesar pada abad ke-19, dan Dr. Peter Carey merupakan ahli sejarah yang
penelitiannya dan pengetahuannya mengenai Pangeran Diponegoro melampaui semua
sejarawan lain. Buku baru ini sangat penting dan pasti menarik bagi semua
pembaca yang ingin mengerti periode dan tokoh itu, yang betul-betul menentukan
dalam sejarah Indonesia. Merle Ricklefs
Lewat bukunya ini Dr. Peter Carey tak hanya berhasil
menjabarkan kompleksitas peristiwa, tetapi juga menampilkan Diponegoro sebagai
sosok manusia utuh, yang memiliki roh dan kepribadian. Membaca buku ini mampu
mengilhami dan menginspirasi para pemimpin masyarakat, pendidik, sarjana dari
berbagai bidang, serta para seniman yang ingin menafsirkan peristiwa Perang
Jawa bagi karya seninya. Sardono W. Kusumo
Ulasan Buku : Takdir; Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855) Oleh Peter Carey
Pangeran Diponegoro adalah tokoh yang dianggap tonggak dari
perjuangan bangsa Indonesia dalam melawan penjajahan, termasuk juga inggris.
Dia ditetapkan menjadi pahlawan nasional pada tahun 6 November 1973, berdasarkan
Keppres No.87/TK/197312. Pangeran Diponegoro adalah sosok penting dalam perang
Jawa atau perang Diponegoro yang berlangsung 1825-1839. Dalam budaya jawa, dia
dianggap sebagai Satrio Piningit, atau sosok ratu adil yang
menyelamatkan kaumnya pada masanya. Pada tahun 2013, UNESCO menetapkan Babad
Diponegoro(otobiografi yang ditulisnya sendiri) sebagai Warisan Memori Dunia.
Semua ini tak bisa dilepaskan dari sosok Peter Carey, seorang Indonesianis yang
selama tiga puluh tahun bergulat meneliti Sang Pangeran.
Buku ini adalah bentuk lebih ringkas dari karya
monumentalnya yang berjudul Kuasa Ramalan ; Pangeran Diponegoro Dan Akhir
Tatanan Lama Jawa 1785-1755(2011)[1]. Buku dengan jumlah tiga
jilid ini menjadi sumber otoritatif bagi siapa saja yang ingin menelaah
mengenai Perang Jawa, dan juga perubahan yang terjadi. Sebab Perang Jawa adalah
perang yang menguras kas Hindia Belanda. Sehingga belanda harus mengubah kebijakannya
dalam pemerintahan di Hindia Belanda.
Pangeran Diponegoro Lahir di
keraton Yogyakarta. Dia adalah putra tertua dari Sultan Hamengku Buwono III dan
cucu dari Hamengku Buwono II. Sejak kecil dia diasuh di wilayah keputren
keraton Yogyakarta oleh nenek buyutnya, tepatnya di Perkebunan Tegalrejo.
Selain dinilai lahir pada hari dan bulan yang baik, yang itu menjadi penanda
akan wataknya, dia juga dididik dengan baik oleh nenek buyutnya, Nyai Ageng
Tegalrejo. Pengalaman itu membuatnya menjadi pribadi kuat, soleh dan juga
memiliki spiritualitas yang tinggi.
Dalam riwayatnya, ketika dia
bertemu dengan Sultan Hamengku Buwono I saat masih digendong, dia diramalkan
akan mendatangkan kerusakan yang lebih besar pada belanda dari pada yang pernah
ia perbuat selama perang Giyanti(1746-55), tetapi hanya yang maha kuasa yang
tahu hasilnya(Babad Dipanegara, 11:45). Bahkan saat masih bayi, takdir itu
sudah tampak dalam dirinya.
Pada masa itu, wilayah Jawa
tengah bagian selatan belum dikuasai penuh oleh Belanda. Namun ada banyak upaya
dari Gubenur Jendral Deandles untuk masuk dan mengatur pemerintahan di sana.
Banyak intrik berlangsung di kawasan keraton. Monopoli Kayu jati dari kebijakan
Deandles, persekongkolan dan perebutan lahan perdagangan menambah kacau
keadaan. Puncaknya ialah terjadi pemberontakan dari bupati wedana Raden Ronggo
Prawirodirjo III. Peristiwa itu menjadi ingatan kuat sang pangeran, yang
kemudian memberinya pengaruh untuk berperang melawan belanda.
Pada tahun 1812, kepemimpinan
kaum Prancis-Belanda H.W Deandels digantikan oleh Inggis. Keraton Yogyakarta
diserang dan ditakhlukan oleh Rafles. Kebijakan Deandles, tentang Pengkaplingan
lahan di untuk investor Eropa menjadi lebih masif. Pembaharuan sistem pajak
membuat rakyat semakin sengsara. Krisis candu semakin marak dan kebencian
kepada masyarakat Tiong Hoa -sebab dijadikan petugas penagih pajak untuk
rakyat- menjadi semakin memanas. Walau hanya berkuasa selama kurang dari lima
tahun, Inggris meninggalkan banyak perubahan yang semakin melemahkan otoritas
Kerajaan Jawa Tengah bagian selatan.
Keadaan semakin memprihatinkan
setelah Belanda kembali menguasai dan ayah pangeran, Sultan Hamengku Buwono
III, meninggal. Sejak awal Sang Pangeran memutuskan untuk menolak jabatan
sultan. Setelah adiknya yang masih kecil menerima jabatan itu, dia menjabat
sebagai wali sultan bersama ibu tiri dan pamannya, Paku Alam I. Kondisi keraton
menjadi lebih buruk, kehormatan keraton dilecehkan oleh orang Belanda, rakyat
semakin menderita, dan banyak orang tidak puas dengan pemerintahan Belanda.
Akibatnya, dia mulai menyatakan perang melawan Belanda pada 1825.
Bentuk perjuangan yang semasa
Raden Ronggo adalah perlawanan atas ketidakpuasan pada pemerintah Belanda,
berubah menjadi perang sabil, atau perjuangan melawan kemungkaran. Perlawanan
atas nama agama itu mendapatkan banyak dukungan dari banyak pihak, mulai dari
orang-orang yang tidak puas pada kekuasaan Belanda, dan juga orang-orang yang
tidak suka dengan tingkah polah warga dari negeri Eropa tersebut. Termasuk di
antaranya adalah, guru sang pangeran, Kiai Mojo, dan juga tentaranya yang
paling kuat Sentot Prawirodirjo. Selama kurun lima tahun yang disebut Perang
Jawa itu, Belanda mengalami kondisi keuangan yang pelik. Namun di sisi lain,
Pangeran Diponegoro mengalami dinamika yang tidak mudah. Ada serangkaian
kegagalan, dan juga terjadi ketidaksepahaman antara dirinya dan Kiai Mojo. Pada
akhirnya dia mau untuk diajak berunding dengan belanda, yang kemudian
dikhianati oleh Jendral De Kock. Dia ditangkap dan diasingkan di Sulawesi
hingga wafat.
Simpulan
Pada umunya, buku sejarah di
sekolah hanya menjelaskan bahwa perlawanan Pangeran Diponegoro disebabkan
karena pembangunan jalan yang melewati tanah leluhurnya. Buku ini sukses
menjelaskan bahwa persoalannya jauh lebih kompleks dari itu. Walaupun merupakan
bentuk penyederhanaan dari tiga jilid buku yang tebal, buku ini mencatat dengan
teliti dan runut mengenai detail-detail kecil dalam dinamika Perang Jawa.
Pencantuman sumber, tanggal dan tahun yang cukup rinci kadang cukup menghambat
pembaca, tapi ini menunjukkan bahwa buku ini tidak dibuat atas karangan
pribadi. Beberapa analisa dan perbandingan memberikan penggambaran yang baik
pada konteks peristiwa, dan juga mengajak pembaca untuk berefleksi.
Buku ini tidak memberikan banyak
penjelasan tentang kepribadian Sang Pangeran, tetapi itu cukup adil. Mungkin
ada hal-hal yang tidak pantas untuk dipublikasikan tentang seorang tokoh,
mungkin sang pangeran pernah salah atau membuat keputusan yang salah, tetapi
fakta itu tetap dianggap sebagai perspektif masa lalu, yang tidak dapat
dipertimbangkan dari perspektif Islam dan Negara Bangsa saat ini.
Perang Jawa adalah pukulan
pertama yang kuat atas penjajahan Belanda. Perang itu menghabiskan biaya
sekitar 20 juta Golden. Biaya ini membuat pemerintah kolonial mengalami krisis
keuangan. Peristiwa itu menjadi catatan pemberontakan pada pemerintah Hindia
Belanda setelahnya. Sebagaimana diceritakan dalam novel Bumi Manusia karya Pramoedya
Ananta Toer. Tokoh Minke banyak mendapat intrik di kelasnya tentang
Pemberontakan Diponegoro. Dalam paragraf akhir Peter Carey menuliskan;
Setelah 1830 lahirlah dunia baru. Inilah titik-titik yang sangat menentukan dalam perjalanan kolonial. Namun perubahan itu juga memakan yang tak terbayangkan besarnya.
Wah. Semangat kak
BalasHapus